Beragama Ikut-ikutan


Islam adalah agama ilmiyah, yaitu agama yang dasarnya adalah ilmu dari al Qur’an dan sunnah. Bukan agama yang hanya berdasar akal, prasangka, praduga, dan angan-angan. Itulah karakteristik agama yang diturunkan Allah –ta’ala- kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam- pada 14 abad yang lampau ini. Allah –subnahanahu wa ta’ala- berfirman:

لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ

“(Agama) itu bukanlah menurut angan-anganmu dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab“ [QS. An Nisa: 123]

Syeikh Abu bakr Jabir al Jazairiy –rahimahullah– berkata: “Diriwayatkan bahwa dulu ada seorang Muslim dan seorang Yahudi saling mencela dan berbangga dengan agamanya masing-masing. Orang Yahudi beranggapan bahwa Nabi, kitab, dan agama mereka ada sebelum Kitab, Nabi dan Agama kaum Muslimin karenanya mereka menggangap bahwa merekalah yang paling utama. Lalu seorang muslim membantahnya dengan kebenaran.

Maka Allah –ta’ala- memberikan penyelesaian terhadap perdebatan mereka berdua dengan firman-Nya: “Itu bukanlah menurut angan-anganmu” wahai kaum muslimin, “dan bukan (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab“ dari kalangan Yahudi dan Nashrani” [Aisar at Tafasir: 1/547].

Demikianlah bahwa angan-angan, pendapat, dan persepsi bukan ukuran sebuah ajaran dalam Islam. Karena akal manusia itu relative, terbatas, serta berubah-rubah. Sehingga tentu tidak bisa dijadikan standar kebenaran. Yang dapat dijadikan standar adalah sesuatu tetap dan tidak berubah-rubah sehingga nantinya tidak menjadi sebuah standar ganda. Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya agama ini dasarnya adalah akal, maka bagian bawah sepatu lebih layak diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku telah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- mengusap bagian atas (khuf) sepatunya” [HR. Abu Dawud 1/42]

Sebenarnya hadits ini berkaitan dengan masalah fikih, dimana orang yang telah berwudhu lalu mengenakan sepatu (khuf) lalu kemudian wudhunya batal, maka boleh baginya untuk berwudhu tanpa melepas sepatunya dan cukup diusap bagian atasnya dan bukan bagian bawahnya, walaupun kalau dipikir bagian bawah sepatu yang bersentuhan langsung dengan kotoran dan najis, namun karena nabi mengusap bagian atasnya, maka Ali bin Abi Thalib pun mengikutinya.

Selain itu hadits ini juga berkaitan dengan masalah prinsip islam bahwa terkadang dalam syari’at ada sesuatu yang tidak masuk akal kita, namun jika itu yang nabi ajarkan, maka itulah yang kita ikuti tanpa berfikir masuk akal atau tidak. Inilah yang dinamakan ittiba’ mengikuti Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Demikianlah keilmiyahan ajaran islam, dimana semua harus berdasar ilmu dari al Qur’an dan sunnah.

Syeikhul Islam Muhammad bin Abdil wahhab –rahimahullah- menyebutkan dalam kitabnya al Ushul ats Tsalatsah: “Pokok yang kedua adalah mengenal agama Islam dengan dali-dalilnya” [Matn al Ushul ats Tsalatsah: 6].

Ini adalah ucapan yang benar dari beliau –rahimahullah-. Agama ini dijalankan berdasar dalil, keterangan, dan hujjah dari al Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas serta ucapan para sahabat Rasulullah yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan Sunnah. Demikian penjelasan Syeikh Ubaid al Jabiri ketika menerangkan kitab al Ushul ats Tsalatsah. Penjelasan beliau ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama ilmiyah dan bukan agama yang mengagungkan akal seperti para filosof yang hanya mengandalkan akalnya. Jika cocok dengan logika, mereka ikuti, dan jika tidak cocok dengan logika, mereka tinggalkan. Bukan pula seperti agama orang-orang Syi’ah yang taklid dan ikut-ikutan kepada imam-imam mereka yang didudukkan seperti al Qur’an dan Sunnah. Perbuatan mereka itu sama sekali tidak ilmiyah dan bertentangan dengan prinsip Islam sebagai agama ilmiyah.

Syeikh Dr. Shalih al Fauzan –hafidzahullah- salah seorang anggota Ulama besar kerajaan Saudi Arabia mengatakan: “Mengenal agama Islam bukan dengan cara taklid [ikut-ikutan] atau mengenal Islam dengan perkiraan dari apa yang ia dapatkan dari orang lain. Namun agama ini harus memiliki dalil dari al Qur’an dan sunnah. Adapun manusia yang tidak mengenal agama (berdasar ilmu), maka ia akan taklid ikut-ikutan kepada orang lain. Menjadi seperti bunglon yang ikut sana ikut sini” [Syarh al Ushul ats Tsalatsah Syeikh al Fauzan: 165-157].

Orang yang tidak mengilmui agamanya dimana dia hanya ikut-ikutan dalam beragama, maka ia akan mendapatkan kesulitan ketika malaikat bertanya kepadanya di alam kuburnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Imam Bukhari dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

 العَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتُوُلِّيَ وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَأَقْعَدَاهُ فَيَقُولاَنِ لَهُ : مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ فَيُقَالُ: انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الجَنَّةِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا وَأَمَّا الكَافِرُ – أَوِ المُنَافِقُ – فَيَقُولُ: لاَ أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ: لاَ دَرَيْتَ وَلاَ تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ 

“Seorang hamba jika telah diletakkan di dalam kuburnya dan teman-temannya telah berpaling dan meninggalkannya dan sang mayit mendengar suara langkah sandal-sandal mereka. Lalu datanglah dua malaikat yang mendudukkannya seraya berkata kepadanya: “apa komentar kamu tentang laki-laki ini, Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam- ? Jenazah pun menjawab:”Aku bersaksi bah dia adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Maka dikatakan kepadanya: “Lihatlah tempat dudukmu di neraka telah Allah gantikan engkau dengan temapat duduk di surga. Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- pun bersabda: “diapun dapat melihat keduanya”. Adapun orang kafir –atau munafik- dia akan berkata: “saya tidak tahu ! saya hanya mengikuti apa kata orang. Lalu dikatakan kepadanya: “kamu tidak tahu dan tidak membacanya. Kemudian ia dipukul dengan palu besar yang terbuat dari besi dengan satu pukulan di kedua telinganya. Diapun berteriak dengan sebuah teriakan yang terdengar oleh yang ada disekitarnya, kecuali manusia dan jin”. [HR. Bukhari: 2/90 – maktabah syamilah].

Alangkah mengerikan nasib orang-orang yang beragama hanya ikut-ikutan. Hanya taklid tanpa ilmu, tanpa bimbingan al Qur’an dan sunnah. Maka disini penting seseorang beragama berdasar ilmu dan dalil dengan membaca al Qur,an dan sunnah lalu mengamalkan ilmunya. Amalan tanpa ilmu akan menjadikan amalan tersebut sia-sia. ”Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut akan ditolak” demikian sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

21 Shafar 1437H/03 Desember 2015
[Sumber artikel dari Abu Ubaidillah al-Atsari | abuubaidillah.com]

0 komentar: