Mungkin
ada diantara kita yang rutin mengkhatamkan al-Quran dalam sebulan, yang berarti
satu juz dalam satu hari. Tapi seberapa sering kita membaca terjemah al-Quran?
Apakah
itu penting?
Ya,
membaca al-Quran sangat penting, dan memahami apa yang kita baca juga sama
pentingnya. Sayangnya, banyak umat islam yang mengabaikan yang kedua. Mereka
hanya membaca al-Quran tapi tidak tahu dan tidak faham yang mereka baca.
Ujungnya kering makna. Yang dibaca tidak meresap ke dalam relung hati.
Memang,
bacaan al-Quran berpahala. Tapi akan lebih double pahalanya jika kita faham apa
yang kita baca. Akan berlipat faidahnya jika kita tahu hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya.
Cobalah
untuk memulai merutinkan dan mengkhatamkan membaca al-quran terjemah. Kemudian
jika ada ayat-ayat yang sekiranya penting kita menandainya. Baik itu ayat
tentang hukum-hukum syariat, motivasi dan lain sebagainya.
Kemudian
lebih bagus jika kita membaca tafsirnya. Belilah tafsir al-Quran yang mudah
difahami dan ringkas semacam tafsir Ibnu Katsir atau Tafsir As-Sa’di. Jika
tafsir Ibnu Katsir yang asli dirasa terlalu tebal dan mahal, kini sudah
tersedia ringkasannya yang lebih ringan. Atau jika masih tidak memungkinkan,
sudah tersedia buku tafsir dalam bentuk e-book dan tafsir online yang semakin memudahkan.
Lagi
pula soal mahalnya harga, tidak sebanding dengan ilmu yang akan kita dapatkan.
Kadang kita terlalu pelit untuk urusan ilmu, tapi terlalu dermwan untuk urusan
gaya hidup. Padahal, Imam Syafi’i dalam salah satu nasihatnya dalam hal
menuntut ilmu, kita harus rela berkorban harta dan berbekal dalam menuntut
ilmu.
Kembali
ke pembahasan, intinya jangankan membaca tafsir Al-Quran, menamatkan al-Quran
terjemah saja banyak yang belum pernah.
Ataupun
kalau sudah pernah, jarang yang mengulangnya atau beberapa kali membacanya
hingga tamat. Layaknya mereka mengkhatamkan membaca al-Quran (tilawah).
Bukan
tanpa alasan aku menulis hal ini. Semua berawal dari pertanyaan seorang teman
sekamar selama di ma’had dulu. Dia pernah bertanya,” Kamu sudah pernah tamat baca
terjemah al-Quran?”
Dan
semua teman sekamar menggelengkan kepalanya, termasuk diriku sendiri.”
Kalau khatamin al-Qur'an alhamdulillah sering. Terutama di bulan
Ramadhan. Tapi kalau namatin baca terjemahannya, sepertinya belum pernah.
Pernah
juga aku bertekad untuk menamatkan membaca tafsir al-Quran. Sampai-sampai
bela-belain meminjam Tafsir al-Quran ke perpustakaan dan menyempatkan diri
untuk membacanya sepulang kerja.
Sayangnya,
usaha yang bagus itu tidak sampai selesai dikerjakan. Paling-paling, membaca
tafsir al-Quran secara tematik sesuai dengan tema atau ayat yang ingin saya
ketahui tafsirnya. Berdasar minat terhadap satu ayat yang dibahas.
Kembali
ke pertanyaan teman. Dia melanjutkan pertanyaannya setelah kami-teman-temannya-
menggelengkan kepala. Merasa “rumasa” belum pernah menamatkan terjemah
al-Quran.
"Orang non Muslim ajah ada yang mau membaca terjemah
al-Qur'an sampai selesai... Banyak yang kemudian dapet hidayah karena baca
terjemahan al-Qur'an. Ada
lagi yang membaca al-Quran plus mempelajari bahasa Arab hanya untuk
menghancurkan islam dari dalam. Mereka para orientalis barat mencoba untuk
menghancurkan islam dengan mempelajari islam. Harusnya kita tidak kalah.”
Semenjak itu, aku jadi tersadar. Bener
juga kata temanku ini. Mestinya kita orang Islam yang harusnya lebih semangat
baca terjemahan al-Qur'an. Bukankah kita sering mengatakan:
Al-Qur'an pedoman kita...
Al-Qur'an adalah petunjuk kita...
Al-Qur'an adalah pelita...
Al-Qur'an ibarat peta...
Namun yang jadi pertanyaan sekarang:
Bagaimana
mungkin al-Quran akan menjadi petunjuk, jika artinya saja kita tidak pernah
tahu?
Nah,
inilah yang menjadi PR untuk sama-sama kita renungkan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Hajrul Qur`an (berpaling dari
al Qur`an) itu ada beberapa bentuk.
Pertama : Berpaling tidak mau mendengarkannya, dan tidak
mengimaninya.
Kedua : Tidak mengamalkannya, dan tidak berhenti pada apa yang
dihalalkan dan apa yang diharamkannya, walaupun ia membaca dan mengimaninya.
Ketiga : Ttidak berhukum dengannya dalam masalah ushuluddin
(pokok-pokok agama) serta cabang-cabangnya.
Keempat : Tidak merenungi dan tidak memahami, serta tidak mencari
tahu maksud yang diinginkan oleh Dzat yang mengatakannya.
Kelima : Tidak mengobati semua penyakit hatinya dengan al Qur`an,
tetapi justru mencari obat dari selainnya.
Semua perbuatan ini termasuk dalam
firman Allah Azza wa Jalla:
“Rasul berkata : “Wahai, Rabb-ku. Sesungguhnya kaumku telah
menjadikan al Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan”. [al Furqan/25 : 30].
Jadi,
masih enjoy menikmati hidup sementara kita belum pernah menamatkan terjemah
al-Quran dan mempelajari tafsirnya? No way!
0 komentar: