Menghadirkan Hati Bersama al-Quran


RASULULLAH Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ibadah umatku yang paling utama adalah membaca Al-Quran.”

Sabdanya lagi: “Andaikata Al-Quran berada dalam sebuah wadah kulit, niscaya ia tidak disentuh api.”

Rasulullah juga bersabda: “Tiada juru penolong yang lebih utama kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat daripada Al-Quran, tidak juga seorang nabi atau malaikat atau yang lain.”

Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ‘Barangsiapa disibukkan oleh pembacaan Al-Quran hingga ia tidak berdoa dan tidak meminta (apapun) kepada-Ku, maka Kuberi dia pahala yang paling utama bagi orang-orang yang bersyukur.”

Ketahuilah bahwa pembacaan Al-Quran mempunyai tata krama lahiriah dan batiniah. Tata krama lahiriah terdiri dari tiga hal, yaitu: pertama, Anda membaca Al-Quran dengan penghormatan dan pengagungan. Penghormatan itu tidak akan memasuki hati Anda selama bentuk penghormatan itu tidak ditunjukkan oleh sikap lahir Anda. Anda telah mengetahui bagaimana hubungan hati dengan anggota tubuh dan bagaimana memancarnya cahaya dari anggota tubuh ke dalam hati.

Bentuk penghormatan itu dapat ditunjukkan dengan cara duduk dalam keadaan suci, bersikap tenang sambil menundukkan kepala dan menghadap kiblat tanpa bersandar maupun berbaring sebagaimana Anda duduk di hadapan guru ngaji. Anda membaca Al-Quran dengan tartil (pelan dan memperhatikan semua kaidah bacaan Al-Quran), penuh rasa hormat, pelan, membaca huruf demi huruf, tidak terburu-buru.

Ibnu Abbas r.a. berkata, “Aku lebih suka membaca surah ‘Idza zulzilat’ dan ‘Al-Qaari’ah’ dan merenungkannya daripada membaca ‘Al-Baqarah’ dan ‘Ali Imran’ dengan terburu-buru.”

Kedua, gunakanlah waktu-waktu tertentu untuk mencapai tingkat keutamaan tertinggi di dalam pembacaan Al-Quran, misalnya dengan membacanya pada saat berdiri dalam shalat, terutama shalat yang dilakukan di dalam masjid dan di waktu malam, karena di waktu malam hati lebih jernih lantaran tidak ada aktivitas. Pada siang hari, meskipun Anda sudah mencoba menyendiri, mobilitas dan aktivitas orang-orang akan mengusik batin Anda dan mengganggu konsentrasi Anda. Apalagi jika Anda berharap untuk mendapatkan suatu kesibukan dan pekerjaan.

Meskipun begitu, selama Anda membacanya, meski sambil berbaring dan tanpa bersuci, tidak berarti sama sekali tanpa keutamaan. Karena Allah Ta’ala memuji semuanya. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang mengingat Allah sanbil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (QS. Ali Imran: 191)

Akan tetapi tata krama yang kami paparkan itu sebagai tambahan keutamaan. Jika Anda lebih menginginkan akhirat, maka hendaknya Anda tidak begitu saja meninggalkan keutamaan.

Ali r.a. berkata, “Barangsiapa membaca Al-Quran sambil berdiri dalam shalat, maka dengan setiap hurufnya ia mendapat seratus kebaikan. Barangsiapa yang membaca Al-Quran di luar shalat dalam keadaan suci, maka ia mendapat dua puluh lima kebaikan. Barangsiapa yang membaca Al-Quran tanpa berwudhu, maka ia hanya mendapat sepuluh kebaikan.”

Ketiga, kuantitas (jumlah) bacaan yang dalam hal ini dibagi atas tiga tingkatan: (1) Tingkatan yang terendah, adalah bila Anda mengkhatamkannya sebulan sekali, (2) Tingkatan menengah, adalah bila Anda mengkhatamkannya seminggu sekali, dan (3) Tingkatan paling tinggi tertinggi adalah bila Anda mengkhatamkannya tiga hari sekali.

Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa membaca Al-Quran kurang dari tiga hari, berarti ia tidak mengerti agama.”

Ada pun mengkhatamkannya setiap hari sekali bukanlah sesuatu yang dianjurkan agama. Jangan Anda berpikir bahwa sesuatu yang baik dan bermanfaat akan semakin bermanfaat bila dilakukan dengan frekuensi yang lebih banyak. Karena rasio Anda tidak dapat menyelami semua rahasia atau misteri urusan Allah. Yang dapat menyelaminya hanyalah potensi kenabian. Maka Anda hanya perlu mengikuti. Karena urusan Ilahi yang spesifik tidak dapat dijangkau dengan kias atau analogi.

Tidakkah Anda menganalisa bagaimana Anda diseru untuk menunaikan shalat, tetapi Anda dilarang mengerjakannya sepanjang siang. Anda juga disuruh untuk tidak melakukan shalat sesudah shalat Subuh, sesudah shalat Ashar, ketika matahari terbit, ketika matahari terbenam dan ketika matahari mulai bergeser (dari titik kulmini) hingga sepertiga siang.

Bagaimana Anda bisa melakukan analogi di sini? Sementara implikasi negatif dari analogi Anda sudah jelas. Sama halnya dengan ucapan seseorang, “Obat itu berguna bagi orang sakit. Maka semakin banyak obatnya semakin berguna.” Padahal Anda tahu bahwa obat yang berlebihan (over dosis) barangkali malah bisa membunuh.

***
UNTUK merasakan suasana batiniah, pada saat mengawali bacaan dengan merenungkan keagungan Allah Yang Maha Berfirman, maka Anda merenungkan keagungan firman-Nya. Hadirkan dalam hati Anda fenomena Arasy, Kursi, langit, bumi, dan segala yang terdapat di antara keduanya berupa malaikat, jin, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan barang-barang tambang.

Harus Anda ingat bahwa Pencipta semua itu adalah Esa. Semuanya berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, berada di antara karunia dan rahmat-Nya. Sementara itu Anda ingin membaca kalam-Nya dan dengan itu Anda ingin melihat sifat Dzat-Nya serta mempelajari keindahan ilmu dan hikmah-Nya. Dan Anda tahu bahwa sebagaimana bagian fisik mushaf tidak bisa disentuh, kecuali oleh orang-orang yang bersuci dan tidak boleh disentuh oleh selain mereka, maka begitu pula hakikat makna dan batin mushaf tertutup dari batiniah hati, kecuali bila ia telah disucikan dari setiap kotoran batiniah.

Pengagungan ini pernah ditunjukkan oleh sahabat Ikrimah. Apabila membentangkan mushaf, kadang-kadang ia pingsan sembari berkata, “Ini firman Tuhanku, ini firman Tuhanku.”

Ketahuilah bahwa kalau saja cahaya kalam-Nya yang mulia dan keagungannya tidak diselimuti oleh tirai huruf, niscaya kekuasaan manusia tidak sanggup mendengarnya lantaran keagungan dan kekuasaan-Nya serta limpahan cahaya-Nya. Kalau saja Allah Azza wa Jalla tidak memberikan keteguhan kepada Musa a.s., niscaya ia tidak mampu mendengarnya tanpa terbungkus oleh huruf dan suara, sebagaimana gunung tidak sanggup menahan penampakkan diri-Nya hingga hancur luluh.

Kedua, hendaklah Anda membaca dengan merenungkan makna-maknanya, jika memang Anda termasuk ahlinya. Ulangilah setiap bacaan yang Anda ucapkan dalam kondisi lalai. Janganlah Anda menganggapnya sebagai amal, karena pembacaan tartil pada dasarnya sebagai upaya memperkuat perenungannya.

Ali bin Abu Thalib r.a. berkata, “Tidak sempurna kebaikan suatu ibadah bila tidak didasari dengan pengertian. Tidak sempurna kebaikan suatu bacaan Al-Quran bila tidak disertai perenungan. Janganlah Anda terlalu mementingkan jumlah khataman. Lebih baik Anda mengulang-ulang satu ayat dalam semalam dengan merenungkannya daripada dua kali khataman (tanpa perenungan). Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam membaca Bismillaahir Rahmaanir Rahiim dan mengulanginya 20 kali.”

Abu Darda’ r.a. berkata, “Rasulullah mendirikan shalat bersama kami pada suatu malam dan membaca satu ayat yang diulang-ulanginya: “In tu’adz-dzibhum fainnahum ibaaduka (jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-Mu juga –QS. Al-Maidah: 118).” Tamim Ad-Daariy pada suatu malam dalam shalatnya membaca ayat: “Am hasibal ladziina ijtarahus sayyi-aati…” (QS. Al-Jatsiyah: 21). Said bin Jubair shalat pada suatu malam dengan membaca ayat: “Wamtaazul yauma ayyuhal mujrimuun.” (QS. Yasin: 59).

Barangkali yang lebih tepat bagi Anda adalah apa yang dikatakan oleh seorang arif, “Aku mengkhatamkan Al-Quran setiap Jumat sekali, kadang setiap bulan, kadang setahun sekali, dan aku sedang mengkhatamkan Al-Quran sejak tiga puluh tahun dan belum aku selesaikan sesudah itu.” Hal itu sesuai dengan tingkat perenungannya. Adakalanya dalam suatu waktu hati tidak bisa melakukan perenungan yang lama, maka perlu khataman secara khusus.*

/Imam Al-Ghazali, dikutip dari bukunya 40 Prinsip Dasar Agama.
[Sumber: Hidayatullah.com]

0 komentar: